Minggu, 24 Desember 2017

Santri; Pasukan Jihad Anti-Hoax


            Dewasa ini kita sudah sering mendengar banyak sekali, bahkan menjumpai sendiri berita atau tautan yang mengandung ujaran kebencian, kebohongan, bahkan fitnah (red:hoax). Dalam penyebarannya, tak ayal banyak oknum yang terlibat. Beberapa oknum atau pelaku yang berperan dalam penyebaran hoax ini justru dari kalangan masyarakat media sosial sendiri (red:netizen). Dalam pandangan saya, netizen penyebar hoax justru adalah netizen yang memang tidak membaca atau menyaring apa yang telah mereka bagikan di media sosial. Kebanyakan dari mereka hanya ikut-ikutan menyebarkan, seolah lepas tangan setelah membagikannya, tanpa ada tanggung jawab dan berpikir konsekuensi dari penyebaran yang telah mereka lakukan.
            Ada juga kasus hoax yang mana di beberapa akun instagram terdapat gambar Mbah Maimoen Zubair dan disamping gambar tertulis komentar beliau tentang kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Cahaya Purnama atau Ahox. Padahal Mbah Moen tidak pernah mengatakannya. Dalam akun lain yang mengaku sebagai anti-hoax mengklarifikasikan foto hoax tersebut. Banyak juga akun-akun anti-hoax yang dipegang kendalinya oleh santri, sehingga ketidakbenaran berita tersebut dapat diklarifikasi.
            Sebagai santri, tentu kita sudah tau tentang baik buruknya sesuatu. Bagaimana hukum menyebarkan keburukan atau fitnah, bahkan kita diajarkan untuk menghindari hal-hal tersebut. Kita yang juga sebagai warga dunia maya atau pelaku media sosial harus lebih memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang akan kita sebarkan. Sebelum membagikannya, kita harus membaca apa yang akan kita bagi, minimal sudah faham bagaimana kriteria  berita hoax. Lebih baik lagi jika melakukan peninjauan sendiri terkait berita yang akan dibagikan. Lantas tidak langsung membagikannya secara awur-awuran.

Kreatif Jihad Satri
            Kemarin, jika ada beberapa remaja yang mengembangkan website anti-hoax, saya rasa santripun juga bisa melakukannya walaupun dengan cara yang lain. Jika tidak menyentuh secara langsung dunia maya, santri juga dapat melakukannya di dunia nyata. Seperti melakukan deklarasi anti-hoax yang dimulai dari setiap pondok pesantren atau madrasah, juga bisa menerapkan sikap skeptis pada dalam diri setiap santri agar tidak mudah mempercayai berita yang tengah ramai diperbincangkan publik. Ini sebagai bentuk perwujudan penolakan hoax yang mana dapat memecah dan merusak masyarakat bahkan kesatuan negara sekalipun.
            Penanaman jiwa agar selalu berjihad tidak melulu pada yang mengancam agama atau keutuhan negara saja, jihad anti-hoax di masa modern seperti sekarang memang sudah harus ditanamkan sejak dini agar tidak ada lagi pemberitaan buruk seperti yang menimpa Mbah Moen diatas.
            Santri sebagai mujahid anti-hoax perlu melakukan tindakan kreatif sebagai bentuk penolakan dan juga tidak melepas urgensitas kesantriannya di masyarakat. Kedekatan dengan masyarakat perlu dimanfaatkan sebaik mungkin dengan banyak melakukan pendekatan individu atau membentuk kelompok masyarakat anti-hoax yang didampingi langsung oleh santri. Masyarakat diajarkan bagaimana bijak menggunakan media sosial, membaca dan mempercayai berita non-hoax atau lebih baik juga ikut mengkampanyekan anti-hoax.
            Di dunia yang melek teknologi seperti sekarang, yang bahkan santri pun juga menikmatinya, saya rasa bibit-bibit santri-zen (santri-netizen) dirasa cukup ampuh dalam berkontribusi mencegah atau menangkal kecenderungan-kecenderungan tersebarluasnya hoax di masyarakat. Pengenyaman ilmu agama di pondok pesantren atau madrasah yang dijadikan sebagai bekal, benteng dan tiang untuk penguatan karakter anti-hoax pada tiap individu santri. Lalu pengkajian anti-hoax di dalam pesantren juga harus digencar-gencarkan, dimulai dalam pesantren sendiri agar tidak ada lagi simpangsiur kebenaran berita. Untuk itu, saya rasa kesadaran dari tiap santri untuk menjadi mujahid anti-hoax dan dukungan oleh pihak-pihak yang bersangkutan seperti pondok pesantren secara langsung atau pemerintah sangat diperlukan demi terciptanya lingkungan masyarakat yang sadar dan bijak dalam bermediasosial.


RIKHA UMAMI
PGMI FITK UIN WALISONGO SEMARANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar