Dewasa ini kita sudah sering mendengar banyak sekali, bahkan
menjumpai sendiri berita atau tautan yang mengandung ujaran kebencian,
kebohongan, bahkan fitnah (red:hoax). Dalam penyebarannya, tak ayal banyak
oknum yang terlibat. Beberapa oknum atau pelaku yang berperan dalam penyebaran
hoax ini justru dari kalangan masyarakat media sosial sendiri (red:netizen).
Dalam pandangan saya, netizen penyebar hoax justru adalah netizen yang memang
tidak membaca atau menyaring apa yang telah mereka bagikan di media sosial.
Kebanyakan dari mereka hanya ikut-ikutan menyebarkan, seolah lepas tangan setelah
membagikannya, tanpa ada tanggung jawab dan berpikir konsekuensi dari
penyebaran yang telah mereka lakukan.
Ada juga
kasus hoax yang mana di beberapa akun instagram terdapat gambar Mbah Maimoen
Zubair dan disamping gambar tertulis komentar beliau tentang kasus dugaan
penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Cahaya Purnama atau Ahox. Padahal
Mbah Moen tidak pernah mengatakannya. Dalam akun lain yang mengaku sebagai
anti-hoax mengklarifikasikan foto hoax tersebut. Banyak juga akun-akun
anti-hoax yang dipegang kendalinya oleh santri, sehingga ketidakbenaran berita
tersebut dapat diklarifikasi.
Sebagai
santri, tentu kita sudah tau tentang baik buruknya sesuatu. Bagaimana hukum
menyebarkan keburukan atau fitnah, bahkan kita diajarkan untuk menghindari
hal-hal tersebut. Kita yang juga sebagai warga dunia maya atau pelaku media
sosial harus lebih memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang akan kita
sebarkan. Sebelum membagikannya, kita harus membaca apa yang akan kita bagi,
minimal sudah faham bagaimana kriteria
berita hoax. Lebih baik lagi jika melakukan peninjauan sendiri terkait
berita yang akan dibagikan. Lantas tidak langsung membagikannya secara awur-awuran.
Kreatif Jihad Satri
Kemarin,
jika ada beberapa remaja yang mengembangkan website anti-hoax, saya rasa
santripun juga bisa melakukannya walaupun dengan cara yang lain. Jika tidak menyentuh
secara langsung dunia maya, santri juga dapat melakukannya di dunia nyata.
Seperti melakukan deklarasi anti-hoax yang dimulai dari setiap pondok pesantren
atau madrasah, juga bisa menerapkan sikap skeptis pada dalam diri setiap santri
agar tidak mudah mempercayai berita yang tengah ramai diperbincangkan publik.
Ini sebagai bentuk perwujudan penolakan hoax yang mana dapat memecah dan
merusak masyarakat bahkan kesatuan negara sekalipun.
Penanaman
jiwa agar selalu berjihad tidak melulu pada yang mengancam agama atau keutuhan
negara saja, jihad anti-hoax di masa modern seperti sekarang memang sudah harus
ditanamkan sejak dini agar tidak ada lagi pemberitaan buruk seperti yang
menimpa Mbah Moen diatas.
Santri
sebagai mujahid anti-hoax perlu melakukan tindakan kreatif sebagai bentuk
penolakan dan juga tidak melepas urgensitas kesantriannya di masyarakat.
Kedekatan dengan masyarakat perlu dimanfaatkan sebaik mungkin dengan banyak
melakukan pendekatan individu atau membentuk kelompok masyarakat anti-hoax yang
didampingi langsung oleh santri. Masyarakat diajarkan bagaimana bijak
menggunakan media sosial, membaca dan mempercayai berita non-hoax atau lebih
baik juga ikut mengkampanyekan anti-hoax.
Di dunia
yang melek teknologi seperti sekarang, yang bahkan santri pun juga
menikmatinya, saya rasa bibit-bibit santri-zen (santri-netizen)
dirasa cukup ampuh dalam berkontribusi mencegah atau menangkal kecenderungan-kecenderungan
tersebarluasnya hoax di masyarakat. Pengenyaman ilmu agama di pondok pesantren
atau madrasah yang dijadikan sebagai bekal, benteng dan tiang untuk penguatan
karakter anti-hoax pada tiap individu santri. Lalu pengkajian anti-hoax di
dalam pesantren juga harus digencar-gencarkan, dimulai dalam pesantren sendiri agar
tidak ada lagi simpangsiur kebenaran berita. Untuk itu, saya rasa kesadaran
dari tiap santri untuk menjadi mujahid anti-hoax dan dukungan oleh pihak-pihak
yang bersangkutan seperti pondok pesantren secara langsung atau pemerintah
sangat diperlukan demi terciptanya lingkungan masyarakat yang sadar dan bijak dalam
bermediasosial.
RIKHA UMAMI
PGMI FITK
UIN WALISONGO SEMARANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar