GEMPA BUMI MEMPENGARUHI POSISI ARAH KIBLAT
Setiap orang
Islam diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, salah satu syarat sahnya
shalat adalah menghadap kiblat yang merupakan arah hadap saat kita melakukan
shalat. Para ulama sepakat menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat,
maka kaum muslimin wajib menghadap ke arah kiblat dalam melakukan ibadah shalat,
kecuali shalat khauf.
Di dalam Al-Qur’an menyebutkan perintah tentang
kewajiban menghadap Kiblat saat shalat, salah satunya dalam surat Al-Baqarah
ayat 149 yang berbunyi :
ô`ÏBur ß]øym
|Mô_tyz ÉeAuqsù
y7ygô_ur tôÜx©
ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$#
( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9
`ÏB y7Îi/¢
3 $tBur ª!$#
@@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã
tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ
“Dan dari
mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Baqarah : 149)
Kata Kiblat
berasal dari kata muqabalah yang artinya berhadapan atau muwajahah.
Asal mulanya ialah situasi yang ada pada orang yang datang menghadap. Lalu
diartikan secara khusus untuk arah dimana setiap mushalli atau orang
yang shalat harus menghadap kepadanya (A. Kadir : 2012). Kiblat yang
dimaksudkan adalah Masjidil Haram yang berada di Kota Makkah, Saudi Arabia.
Secara geografis, Masjidil Haram terletak antara 39°-40° bujur Timur dan
21°-22° Lintang Utara. Jarak dari kota Jeddah lebih kurang 74 Km, dari kota
Thaif lebih kurang 80 Km, dari kota Madinah lebih kurang 470 Km, dan dari kota
Riyadh lebih kurang 990 Km.
Tidak kurang
dari 40 kali Al-Qur’an menyinggung soal Masjidil Haram. Masjidil haram didalam
Al-Qur’an disebut juga dengan sebutan al-Bait al-Haram, al-Bait al-Atiq,
al-Haram al-Amin dan sebagainya. Masjidil Haram sangat mulia dan sangat
dihormati oleh seluruh umat islam. Yang dimaksudkan “Masjidil Haram” adalah
Ka’bah, yaitu tempat suci yang dibangun pertama kali di muka bumi untuk
mentauhidkan Allah, sekaligus menyingkirkan bentuk kemusyrikan (A. Kadir :
2012).
Letak Kiblat di Indonesia
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah mengeluarkan
fatwa No. 03 Tahun 2010 terkait
arah kiblat. Pertama, tentang
ketentuan hukum. Dalam ketentuan hukum tersebut disebutkan bahwa Kiblat bagi
orang shalat dan dapat melihat Ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah, lalu
Kiblat bagi orang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Kiblat, dan
letak geografis Indonesia yang berada dibagian timur Ka’bah, maka Kiblat umat
Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Kiblat. Kedua, MUI merekomendasikan
agar bangunan masjid atau mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap
ke arah kiblat tidak perlu diubah atau dibongkar dan sebagainya.
Letak astronomis yaitu letak suatu
tempat berdasarkan garis lintang dan garis bujurnya. Letak astronomis Indonesia
6.08° LU - 11.15° LS dan 95.45° BT – 141.05° BT. Sedangkan pengertian letak geografis adalah letak suatu tempat dilihat dari kenyataannya di muka bumi atau letak
suatu tempat dalam kaitannya dengan daerah lain di sekitarnya. Letak geografis tersebut juga
letak relatif, disebut relatif karena
posisinya ditentukan oleh fenomena geografis yang membatasinya, misalnya
gunung, sungai, lautan, benua dan samudra. Secara geografis wilayah Indonesia
terletak diantara dua benua dan dua samudra yaitu benua Asia dan benua
Australia. Sedangkan samudra yang membatasi wilayah samudra Hindia dan samudra
Pasifik.
Berdasarkan
tinjauan astronomi atau ilmu falak, terdapat beberapa teknik yang dapat
digunakan untuk menentukan arah kiblat diantaranya adalah menggunakan kompas, theodolit,
rasi bintang, matahari dan yang paling mudah adalah saat matahari tepat diatas
Ka’bah (Makkah) yang dikenal dengan istilah Istiwa Azam (Istiwa utama).
Dikalangan masyarakat pesantren di Indonesia, istilah ini cukup
dikenal dengan Zawa atau
Rasydul Kiblat. Rasydul Kiblat adalah ketentuan waktu
dimana benda yang terkena sinar matahari mengarah ke arah Kiblat.
Teknik
penentuan arah kiblat Rasydul Kiblat sebenarnya sudah dipakai lama sejak
ilmu falak berkembang di Timur Tengah. Demikian halnya di Indonesia dan
beberapa negara Islam lain juga banyak menggunakan teknik ini, sebab teknik ini tidak memerlukan perhitungan
yang rumit dan siapapun dapat melakukannya.
Pergeseran Kiblat Karena
Gempa Bumi
Sulit
dipercaya bahwa kerak bumi terus menerus berubah dan bergerak. Akan tetapi
kenyataannya adalah bahwa kekuatan-kekuatan besar secara terus-menerus membentuk
dan membentuk kembali batu-batuan kerak bumi, batu-batuan itu kemudian di
dorong menjadi lipatan-lipatan besar, dipilin dan kemudian diretakkan. Proses
ini biasanya berlangsung lambat sehingga kita tidak menyadarinya. Namun ketika
terjadi gempa bumi dahsyat, bumi bergoncang sangat keras terjadilah celah-celah
panjang diatas permukaan bumi, pada saat itulah baru kita sadari bahwa dibawah
permukaan bumi terdapat kekuatan dahsyat yang sewaktu-waktu bisa merubah posisi
di permukaan bumi. Tanah tiba-tiba bergerak kian kemari, rumah dan bangunan
lain tergeser dari dasarnya atau roboh ke tanah. Perubahan-perubahan yang jelas
dibagian luar permukaan bumi terjadi retakan pada kerak bumi dan retakan
tersebut dapat mengakibatkan lempeng bergeser. Adanya pergeseran tersebut akan
mempengaruhi nilai koordinat lintang dan bujur suatu tempat dipermukaan bumi
yang tentunya terkait dengan arah kiblat.
Seperti
penelitian yang telah dilakukan oleh Ahmad Wahidi, M.H.I dan Evi Dahliyatin
Nuroini, S.H.I pada tahun 2010 tentang pergeseran lempeng bumi karena gempa
bumi terhadap arah kiblat di Indonesia. Beliau mengambil sampel Kota Yogyakarta
yang pernah terjadi gempa tektonik yang cukup besar pada tanggal 27 Mei 2006
kurang lebih pukul 05.55 WIB. Dalam penelitiannya, Ahmad Wahidi dan Evi Dahliyatin
menggunakan obyek masjid di 8 kecamatan dari 15 kecamatan di Kota Yogyakarta. Kota
Yogjakarta yang terletak diantara 110°21° BT -110°23° BT dan 7°47° LS -7°49°
LS. Dengan ketinggian daerah yang rata-rata 90 m sampai 150 m di atas permukaan
laut. Teknik penelitian ini menggunakan teknik observasi terhadap masjid yang
terkena gempa, lalu meletakkan letak geografisnya menggunakan GPS, menggunakan
teori Imam Nawawi Al-Bantani dan sinus cosinus serta menggunakan teknik
dokumentasi.
Dalam
menentukan arah kiblat harus menentukan seberapa besar lintang dan bujur tempat
masjid yang diteliti. Misalnya penelitian pada Masjid Gedhe Kauman yang berdiri
sejak tahun 1777. Sebagai perbandingan, peneliti menggunakan data penelitian yang
dilakukan pada tahun 2003. Dalam data tahun 2003, di Masjid Gedhe Kauman sebelum
gempa besar bujur 110°21°44,87° dan besar lintang -7°48°13,91°, sedangkan data
pada tahun 2010 menunjukkan besar bujur 110°21°45,1° dan besar lintang -7°48°13,8°
yang di ukur menggunakan GPS pada tanggal 24-27 April 2010. Bisa dilihat
selisih besar bujur dan lintang adalah 0°0°0,23° dan 0°0°0,11°, hasil tersebut
didapat dengan mengurangkan hasil data tahun 2010 dengan data tahun 2003. Kesimpulannya
adalah pergeseran lempeng bumi telah merubah titik koordinat bujur dan lintang
di suatu tempat.
Sedangkan
arah kiblat sebelum gempa adalah 24°42°38,66° dan pada tahun 2010 arah kiblat
menjadi 24°42°38,57°, memiliki selisih -0°0°0,09°. Dari data tersebut dapat
dikatakan bahwa gempa bumi pada kenyataannya telah merubah nilai koordinat arah
kiblat, namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap arah kiblat karena
perubahannya sangat kecil dan hanya dalam satuan detik saja dalam kurun waktu 7
tahun, sedangkan di Indonesia belum ada alat ukur yang dapat mengukur kisaran
angka sekecil itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar