“Pergantian pemimpin menciptakan
pengaruh yang luar biasa dalam pendidikan Indonesia. Konflik antara pro dan kontra terhadap
Kurikulum 2013 (K-13) masih terjadi sampai sekarang. Pergantian kurikulum yang
terlalu sering dilakukan membuat sistem pendidikan di negeri ini kocar-kacir
dan carut-marut. Pasca penghapusan K-13 memberikan pertanyaan terhadap
konsistensi pemerintah dalam menetapkan kurikulum”
Seringnya dilakukan pergantian
kurikulum di Indonesia membuat kita bertanya bagaimana konsistensi sistem
pendidikan yang diterapkan oleh para pemangku jabatan negara. Kurikulum yang
pernah diterapkan di Indonesia sudah sering kali berganti wajah dengan
kurikulum yang baru. Pergantian kurikulum yang sering dilakukan bukan karena
tidak ada alasan, namun, alasannya adalah pemerintah mencoba untuk memperbaiki
sistem pendidikan Indonesia. Alhasil, kurikulum yang sering berganti tidak
memiliki konsistensi dalam penerapannya dan memberi pengaruh buruk terhadap umur
kurikulum yang tidak dapat bertahan lama.
Di
samping itu, kita patut bertanya tentang kualitas kurikulum yang sering diganti.
Kurikulum yang tak bisa awet menjadi
tanda tanya besar dan PR untuk para petinggi negara ini, banyak yang harus
diperbaiki dalam sistem pendidikan Indonesia. Konsistensi penerapan kurikulum
belum bisa ditunjukkan level suksesnya di dunia pendidikan Indonesia.
Pergantian
pemimpin di negeri ini juga memberikan pengaruh yang besar dalam pergantian
kurikulum. Setiap berganti kepemimpinan, secara otomatis juga berganti program
kerja oleh pemerintahan yang baru. Pergantian program kerja bisa diartikan
sebagai pembaharu program kerja lama menuju perbaikan birokrasi negara.
Pasca Penghapusan K-13
Masalah
pendidikan pastilah menjadi salah satu PR bagi kepemimpinan baru. Mulai dari pergantian
kurikulum yang kontroversi atau penghapusan kurikulum yang dianggap tidak
efektif bagi pendidikan Indonesia. Di samping itu, perombakan kurikulum juga dilakukan
dengan alasan demi memperbaiki efektifitas kuikulum yang telah diterapkan
sebelumnya.
Pasca penghapusan K-13, kini memberikan
tanda tanya besar bagi warga pendidikan. Apakah kurikulum yang telah ditetapkan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), M. Nuh, tidak memberi efektifitas
bagi kemajuan pendidikan Indonesia, atau justru penghapusan K-13 adalah cara penghentian
sementara yang dilakukan pemerintah agar dapat merombak dan memperbaiki sistem K-13
yang menjadi kontroversi di akhir masa Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Wacana tentang kepastian kurikulum baru malah menjadi tumpang tindih terhadap
kurikulum apa yang pantas diterapkan di Indonesia.
Penghapusan K-13 pada realita di
lapangan sudah banyak diterapkan di sekolah-sekolah dan kini sudah sampai pada
“setengah jalan” memberikan masalah baru bagi pemerintah. Kurikulum yang
seharusnya dibiarkan berjalan dengan baik, kini dihentikan bahkan dihapus. Ini menunjukkan
inkonsistensi pemerintah terhadap sistem pendidikan Indonesia.
Kembali
mengingatkan, saat K-13 menjadi bahasan yang kontroversi dikalangan pengamat
pendidikan. Saat launching K-13,
pemerintah juga memberikan buku ajar sebagai penunjang siswa dalam kegiatan
belajar. Pembuatan buku-buku yang menghabiskan banyak biaya dilakukan
pemerintah demi tertunjangnya K-13 justru kehadirannya dipertanyakan. Ironisnya,
tidak semua sekolah dapat menikmati subsidi buku yang diberikan pemerintah
secara cuma-cuma. Banyak sekolah di daerah terpencil tidak mendapatkan buku
penunjang dengan alasan akomodasi yang tidak memadahi.
Realita
sekarang adalah K-13 dihapus saat sudah setengah jalan berlalu. Menjadikan
keteraturan kurikulum di Indonesia menjadi rancu. Pergantian kurikulum yang
terlalu sering dilakukan menjadikan sistem pendidikan di negeri ini kocar-kacir. Penghapusan K-13 dianggap
salah satu bukti carut-marutnya
pemerintahan di Indonesia. Jika pendidikan sangat penting untuk bangsa di suatu
negara, itu berarti pemerintah harus konsisten menetapkan kurikulum tanpa
menggantinya secara terus menerus. Pemerintah boleh saja mengganti atau
memperbaharui sistem kurikulum lama, namun dengan alasan memperbaiki maupun
merombak sistem yang dikiranya kurang memberikan keefektifan terhadap sistem
baru yang lebih efektif. Lalu, konsistensi penerapannya harus lebih diperjelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar